Hari ini, aku ingin menceritakan apa yang telah kudapatkan.
Baru saja, aku pulang dari ECF (Kursus Ekstensi Filsafat) yang bertemakan Culture and Everyday Life.
Selintas, pasti kita berpikir, wah tema yang mudah. Tema filsafat yang dekat
dengan kita! Coba yuk mari kita sebut, apa sih menurut kita keseharian itu?
Kalo boleh me-meta plan kan, yang terlintas
di benakku mengenai keseharian adalah:
1.
Segala sesuatu yang dilakukan setiap hari
2.
Ada yang serupa dan berulang, kita namakan
rutinitas
3.
Ada yang special, kita sebut dengan moment
4.
Menghasilkan pengalaman
5.
Mempengaruhi kehidupan selanjutnya atau
setelahnya (pola pikir, rencana, antisipasi, dekonstruksi,dll).
6.
Namun, keseharian akan berjalan tanpa makna
apabila tidak direfleksikan atau diwacanakan
7.
Kekinian (nowness)
Ya, kira-kira begitulah pengertian awalnya. Kemudian, apasih
yang dipermasalahkan dengan ‘keseharian’? Bukannya kita pasti akan mengalami,
dan akan berbeda-beda setiap orangnya, dan tidak akan menjadi suatu
permasalahan?
Ternyata yang menjadi masalah adalah ketika saat ini,
modernitas mulai mendominasi dan secara tidak kita sadari sudah terintegrasi
dengan pribadi kita dan hal-hal yang ada disekitar kita. Jadi, kalau menurut
Pak Bambang, pengertian keseharian adalah : pengalaman langsung hari demi hari,
realitas intim yang saat demi saat langsung kita jalani. Sejak dikuasai
modernitas, keseharian menjadi problematik. Problematik seperti apakah?
Pertama, modernitas berisi rangkaian ‘kebaruan’ di segala
bidang dan tak ada henti-hentinya, defamiliarisasi (yang biasa dikenal menjadi asing) semakin lama semakin cepat,
menyeluruh, dan semakin radikal. Sehingga mengakibatkan ‘bahasa’ yang kita
gunakan tidak pernah cukup untuk mengejarnya. Muncul kesenjangan yang kian jauh
antara apa yang sesungguhnya terjadi dan kemampuan kita untuk merumuskannya.
Kedua,keseharian, adalah kenyataan hidup yang paling real, karena sebetulnya paling penting. Dan modernitas menyebabkan kita semakin sulit menghayati kekinian, karena modernitas berorientasi pada masa depan. Keseharian yang ada seperti hal yang berlalu begitu saja, tanpa kita dapat memaknainya dan merenungkannya.
Ketiga, muncul pertanyaan, keseharian itu apa? kualitas apa yang sesungguhnya kita alami? Perasaan bahagia, senang ataukah malah membosankan, membuat depresi, yang seolah berjalan sendiri diluar kendali kita?
Ternyata, wacana teoritis mengenai keseharianpun tidaklah mudah, banyak mengandung ambivalensi serta dilemma, yang adalah :
- Keseharian tidak sepenuhnya rasional, karena apabila kita mewacanakannya secara rasional, justru akan menghilangkan keunikan substansi keseharian itu. Dengan merefleksikan/mewacanakan keseharian, kita berarti menjajahnya atas nama nalar. Keseharian merupakan kenyataan yang mengalir, maka apabila kita menjadikannya sebuah wacana tertulis, keseharian justru akan hilang. Keseharian yang sesungguhnya akan selalu tersembunyi diantara baris-baris kalimat "between the lines".
- Lalu, apabila ingin diwacanakan, unsur dari keseharian manakah yang akan kita pilih? manakah yang penting? sulit sekali menatanya menjadi sebuah orkestra dengan tema yang jelas.
- Ada dua kemungkinan melihat keseharian, yang pertama keseharian dilihat sebagai dampak di belakang modernitas, kedua, keseharian merupakan fokus utama dan modernitas dilihat sebagai akibat dari keseharian. contohnya kemundulan feminisme disebabkan oleh keseharian ibu rumah tangga yang bosan dengan rutinitasnya dan mulai ingin berbuat lebih.
Kemudian, kita perlu melihat konsep kunci dari modernitas yang katanya telah mengubah banyak inti dunia keseharian, khususnya pada masyarakat urban atau metropolitan, yaitu :
1. Rasionalisasi --> modernitas berusaha merasionalisasikan segala hal, semua ditata agar efisien, efektif, tepat guna, sesuai sasaran, dsb. Muncullah sistem, birokrasi, dll. Namun, ironisnya, birokrasi malah mempersulit kehidupan sehari-hari. Hal ini berkebalikan dengan kegembiraan spontan
Ketiga, muncul pertanyaan, keseharian itu apa? kualitas apa yang sesungguhnya kita alami? Perasaan bahagia, senang ataukah malah membosankan, membuat depresi, yang seolah berjalan sendiri diluar kendali kita?
Ternyata, wacana teoritis mengenai keseharianpun tidaklah mudah, banyak mengandung ambivalensi serta dilemma, yang adalah :
- Keseharian tidak sepenuhnya rasional, karena apabila kita mewacanakannya secara rasional, justru akan menghilangkan keunikan substansi keseharian itu. Dengan merefleksikan/mewacanakan keseharian, kita berarti menjajahnya atas nama nalar. Keseharian merupakan kenyataan yang mengalir, maka apabila kita menjadikannya sebuah wacana tertulis, keseharian justru akan hilang. Keseharian yang sesungguhnya akan selalu tersembunyi diantara baris-baris kalimat "between the lines".
- Lalu, apabila ingin diwacanakan, unsur dari keseharian manakah yang akan kita pilih? manakah yang penting? sulit sekali menatanya menjadi sebuah orkestra dengan tema yang jelas.
- Ada dua kemungkinan melihat keseharian, yang pertama keseharian dilihat sebagai dampak di belakang modernitas, kedua, keseharian merupakan fokus utama dan modernitas dilihat sebagai akibat dari keseharian. contohnya kemundulan feminisme disebabkan oleh keseharian ibu rumah tangga yang bosan dengan rutinitasnya dan mulai ingin berbuat lebih.
Kemudian, kita perlu melihat konsep kunci dari modernitas yang katanya telah mengubah banyak inti dunia keseharian, khususnya pada masyarakat urban atau metropolitan, yaitu :
1. Rasionalisasi --> modernitas berusaha merasionalisasikan segala hal, semua ditata agar efisien, efektif, tepat guna, sesuai sasaran, dsb. Muncullah sistem, birokrasi, dll. Namun, ironisnya, birokrasi malah mempersulit kehidupan sehari-hari. Hal ini berkebalikan dengan kegembiraan spontan
1 comment:
hi finka salam kenal
plis update terus CEF-nya
kepingin ikut, tapi jadwal selalu bentrok
bookmarked :D
Post a Comment