Tidak terasa waktu berlalu (klise banget) cepat sekali.
Sudah satu tahun semenjak INAP 2012 sampai sekarang. Di saat kepengurusanku
sebagai ketua MPM dan Said sebagai presiden mahasiswa sudah resmi berganti
(karena kami resmi dikenalkan satu per satu pada publik ya pada saat INAP inilah).
Peristiwa yang sebetulnya rutin setiap tahun ini mengusikku untuk menulis blog.
Karena sejatinya, kisah setiap tahun pasti berbeda dan memiliki keunikan
masing-masing.
Kusebut kisah tahun lalu adalah : Berjuang demi kebenaran
hak.
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan Angkatan 2012 |
Jajaran Rektorat membuka Sidang Pembukaan Tahun Akademik |
Welcoming Speech Behalf of Student Representative Assembly |
Mengapa kupilih judul itu? Mari simak kisahnya.
Di kampusku, sistem kepengurusan/pemerintahannya bersifat
semi-demokratis- menurutku. Jajaran rektorat dan jajaran mahasiswa pada waktu
tertentu dapat dipersilahkan duduk bersama membicarakan konsep dan setelah itu bersama-sama
melaksanakan pembagian tugas yang sudah disepakati sebelumnya. Biasanya,
mekanismenya seperti ini. Pertama, kami sebagai pengurus lembaga kemahasiswaan
diberikan undangan pertemuan dengan jajaran rektorat. Di pertemuan itu,
rektorat memaparkan secara kasar mengenai perencanaan yang sudah ada, lalu,
kami dari lembaga kemahasiswaan diberikan waktu untuk memberikan pendapat dan
masukan. Biasanya untuk hal rutin ada 2 sampai 3 kali pertemuan. Di pertemuan
berikutnya, pendapat dan masukan dari kami turut dibahas. Apabila dirasa lebih
baik, maka usulan kami dapat dijadikan keputusan bersama. Namun, karena tadi
diawal aku mengatakan ‘semi’ maka ya tidak sepenuhnya demokratis juga.
Kemungkinan usulan dan masukan kami yang dijadikan keputusan perbandingannya
yaitu 80:20 atau bahkan sesungguhnya 90:10. Perbandingan ini tidak dapat
dijadikan patokan, karena pada isu atau kasus tertentu, kampusku bisa juga
lebih mengacu pada pendapat mahasiswa. Tapi yang jelas, selama aku dan Said
menjabat sepanjang tahun kemarin, kejadian yang lebih banyak adalah kondisi yang
pertama. 80:20 atau 90:10. Nah setelah pada pertemuan ke 2 dan ke 3 muncul
keputusan, maka akan segera disusul dengan surat edaran yang berisi lampiran
Keputusan Rektor atau Keputusan Universitas yang resmi. Berhubung dalam rangka
INAP maka yang terbit adalah SK Rektor mengenai INAP atau Inisiasi dan Adaptasi.
Pada waktu itu, aku, Said, dan teman-teman lain dengan
semangat dan antusias mengikuti pertemuan pertama tentang pemaparan rencana
pelaksanaan INAP. Dipimpin oleh WR III kami tercinta, Romo Tarpin. Ada beberapa
masukan dari kami mengenai waktu pelaksanaan. Kami memberi masukan berdasarkan
aspirasi teman-teman mahasiswa. Waktu itu, kami menginginkan supaya pada tanggal
17 Agustus 2012 setelah upacara, acara INAP fakultas dan program studi dapat dilanjutkan. Karena,
sebelumnya, INAP ditutup saat upacara bendera. Saat itu kami bernegosiasi
bersama Romo Tarpin, beberapa dekan dan beberapa wakil dekan. Dan akhir dari
pertemuan itu adalah tanggal 17 Agustus 2012 setelah upacara bendera, INAP fakultas
dapat dilanjutkan s.d pukul 15.00. Pada Pk 15.00 kampus harus sudah bersih dari mahasiswa.
Begitu keputusannya. Notulensi pun ada di pihak kami dan rektorat. Maka,
setelah pertemuan itu berakhir, Said buru-buru mengadakan pertemuan dengan para
ketua himpunan dan ketua OSFAK untuk memberitahukan berita ini. Saya juga
berada disana. Setelah semua mengerti dan setuju, kami bergegas menyiapkan.
Namun, bagaikan petir di siang bolong, sore-sore sekitar pk
15.00 beberapa hari setelah pertemuan itu, muncullah SK Rektor mengenai INAP
ini yang sudah kami nanti-nantikan. Aku di MPM menerima terlebih dahulu sebelum
Said surat yang diantar pekarya. Aku langsung mengecek isinya dan ternyata ada
yang berubah. Di SK itu dituliskan bahwa INAP berakhir pada tanggal 17 Agustus 2012 setelah upacara bendera. Upacara bendera dijadikan kegiatan puncak penutupan
INAP. Dan hal itu berarti, tidak ada kegiatan lagi setelah upacara bendera dan
keputusan ini berbeda dengan kesepakatan awal kami pada pertemuan sebelumnya.
Aku segera menghubungi Said via line telepon. “Id, sebentar lagi lu bakal
dikirim surat SK Rektor tentang INAP dan ternyata tanggalnya berubah. Kita
gabisa adain kegiatan setelah upacara bendera”. Sepuluh menit kemudian, Said
dan beberapa anak LKM (yang aku ingat ada Dito, Melvin, Jaya) langsung ke ruang
MPM dan kami berunding. Walau hanya beberapa jam saja plus dipotong shalat
Jumat, waktu itu sangat berharga bagi kami mahasiswa untuk mengadakan OSFAK.
Pertimbangannya bukan karena malu karena masukan kami seperti tidak dianggap,
tapi lebih ke pertanggungjawaban kami pada teman-teman di fakultas dan program
studi yang sudah menyusun dengan detail teknis acara dan materi yang ingin
mereka sampaikan pada mahasiswa baru. LKM dan MPM saat itu sepakat akan ‘naik
banding’.
SK sudah keluar, tidak mungkin direvisi. Kami berunding dan
berargumen. Apa langkah yang akan kami lakukan. Sebelumnya, kami
mengidentifikasi terlebih dahulu, apa yang kira-kira terjadi pada rapat di
jajaran rektorat sehingga keputusan semula berubah. Kami saling bercerita dan
bertukar informasi. Kami bertanya pada Romo, Ibu Ros, Mas Pur, Bang Mangadar,
Ibu Heni, Ibu Tiur, Ibu Tetty dan Pak Santosa. Kami membawa notulensi rapat
bahkan surat keputusan yang semula akan diterbitkan sebelum SK keluar mengenai
keputusan bersama itu dan mengutarakan pada pihak yang terkait. Semua kami
datangi untuk mengumpulkan informasi. Kira-kira ber delapan atau bersepuluh,
MPM, LKM, dan bebrapa kahim turun tangan ikut serta bergerilya. Data dan
informasi berujung pada kesimpulan bahwa Dekan Teknik, Dekan Teknik Industri
tidak setuju dengan keputusan semula. Ditambah dengan Dekan Ekonomi yang
mengikut suara terkuat. Dengan kesimpulan ini, kami memikirkan bagamana caranya
merebut hak kami kembali. Bagaimana memperjuangkan kebenaran dan memutus tali ‘manut’
dari sosok seorang mahasiswa Unpar. Dengan jelas kukatakan pada Said, “Gw ga
setuju kalau kesepakatan dilanggar begitu aja. Ini bukan contoh yang baik yang
mereka tunjukin ke kita.” Dengan tegas Said mengajak,” Ayo Fin, kita bikin
forum dengan jajaran rektorat dan dekanat.”
Tujuan kami membuat forum adalah agar semua dapat
mengutarakan pendapat. Semua pihak dapat saling bertemu dan berbicara satu sama
lain menyelesaikan persoalan. Kami akan menjelaskan dengan runut berdasarkan
notulensi, bagaimana keputusan semula bisa keluar. Dan betapa kecewanya kami
saat keputusan itu berubah sepihak. Kami juga memberikan statement, apa
permintaan kami. Semua sudah kami pikirkan matang-matang. Tetapi, aku melihat
ada satu hal yang mengganggu. Hal ini mengenai Romo Tarpin. Sepertinya
tuduhan-tuduhan kami akan mengarah pada Romo, karena secara praktis, Romolah
yang bertanggung jawab akan keputusan ini. Rektor sekalipun tidak turut
langsung mengetahui urutan permasalahannya. Ada sedikit rasa khawatir pada Romo
Tarpin. Tidak tega juga kalau beliau dipersalahkan. Akhirnya, sebelum forum
itu, aku sempat bbm ke Romo. Romo, yang kami perjuangkan itu bukannya pengakuan
atau arogansi, tapi kebenaran lho Romo. Tidak baik apabila di kampus ini
tercipta kebudayaan main ambil keputusan sepihak seperti itu.
Setelah itu, forum dilaksanakan. Rektor berhasil kami
undang. Beberapa dekan dan wakil dekan juga hadir. Aku diposisi sebelah Rektor,
Said diposisi pengemuka tuntutan. Para Notulen siap, dari LKM dan MPM. Forum
terlaksana dengan panas. Beberapa mahasiswa mengemukakan pendapat, beberapa
dari pihak dekanat juga. Dari teknik diwakilkan dosen, dari teknik industri ada
wakil dekan. Saling beradu argumen dan tiada ujung. Romo jadi pihak yang
disalahkan dan yang mengakui kesalahan dengan sangat menyentuh. Keputusan
akhirnya, kami dapat mengadakan acara setelah upacara bendera sampai pk 14.00
dengan koordinasi dengan dekanat. Namun ada beberapa program studi yang tidak menggunakannya
karena dirasa sudah cukup sampai upacara saja. Perjuangan panjang demi merebut
hak ini akhirnya selesai dan tugas kami berikutnya adalah mengawal INAP. LKM
berada di posisi sebagai pelaksana INAP Gabungan, MPM sebagai pengawas INAP
Gabungan dan INAP Fakultas. LKM juga turut menjadi pengawas INAP Fakultas.
Evans sebagai Internal Inspektor berperan lebih dalam hal ini. Selain
mengawasi, dia juga bertanggung jawab penuh apabila terjadi persengketaan
karena ini menyangkut kemahasiswaan.
Perjuangan itu punya tujuan tapi tetap dengan ketulusan. Pada akhirnya kita tidak tahu perjuangan itu akan berhasil atau tidak. Tapi kalau tidak mencoba sepenuh hati memperjuangkan, kita tidak bisa merasakan dan memaknai apa tugas kita sebenarnya dan siapa yang berada dibawah tanggung jawab kita. Perjuangan yang tulus juga memberi inspirasi dan pelajaran bagi yang lain. Untuk kisah ini, saya bersyukur punya teman seperjuangan seperti saudara Said.
-Bersambung-
(untuk dikenang/ 4-5 minutes reading duration)
No comments:
Post a Comment